Selasa, 03 Maret 2015

GILA DAN SUNGGUH TERLALU


http://www.parepos.co.id/index.php/metro-pare/1395-kepala-sma-wewenang-gubernur

Suatu sore di sebuah pusat perbelanjaan, seorang ibu yang bertubuh agak gemuk berbicara sendiri di depan tumpukan berbagai macam merek sabun, “Gila, harga-harga sudah mulai naik”. Tak lama kemudian di dekat kasir pembayaran, juga seorang ibu muda, mengomel sendiri “Gila dan Sungguh terlalu "! Hanya sedikit barang yang saya beli sudah hampir seratus ribu rupiah”, geram ibu muda itu sambil memberikan uang ke kasir dua lembar lima puluh ribuan.
Di tempat parkir juga terjadi hal yang sama, ketika seorang lelaki tua hendak mengeluarkan motornya dari tempat parkir, tapi tiba-tiba dari arah yang berlawanan sebuah motor hampir menyambarnya. “Anak-anak sekarang gila-gilaan cara naik motornya,” kata lelaki tua itu seakan hendak mengadu kepada saya. Lalu saya pun hanya mampu mengangguk dan tersenyum kepada lelaki yang hampir menjadi korban karena tingkah laku pengendara motor yang tak tahu menghargai dan sopan santun di jalan raya.
Kata “gila” nampaknya sudah menjadi bahasa tutur sehari-hari oleh banyak masyarakat kita. Entah mengapa, kata “gila” seperti menjadi ikon ketidaksukaan atau ketidaknyamanan terhadap sesuatu. Para penutur begitu fasih mengucapkan kata “gila” pada setiap kalimat yang bernada umpatan.
Padahal menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyebutkan bahwa makna kata gila berarti: 1) sakit ingatan, 2) tidak sebagaimana mestinya, 3) terlalu, 4) terlanda perasaan amat suka, dan 5) tidak masuk akal. Tetapi pengertian harafiah secara umum bahwa kata “gila” itu berarti “sakit ingatan” atau “sakit jiwa”. Dan pemahaman bahwa “gila” itu sakit ingatan sudah menjadi pemaknaan di masyarakat untuk orang-orang tertentu yang memang sakit jiwa atau “seperti” orang sakit jiwa.
Persoalan pemaknaan bahasa bagi para penutur memang akan mengalami perubahan seiring dengan kondisi sosial masyarakat dan perkembangan peradaban manusia itu sendiri. Artinya, bahwa penempatan kata yang harusnya sesuai dengan persoalan yang dihadapi, bisa menjadi lain dengan menggunakan kata yang tidak seharusnya, kasar, dan nampak membalik logika.
Jadi ibu-ibu seperti di awal tulisan ini memang tidak juga salah menggunakan kata “gila” bila memang hal yang dihadapinya itu tidak semestinya. Tentu saja bahasa ibu itu terdengar agak kasar. Namun, persoalan menjadi lain saat berkorelasi dengan keadaan yang membuat kondisi pikiran menjadi “sakit”. Bayangkan, bila upah atau gaji sebulan hanya cukup untuk menutupi kebutuhan hidup setengah bulan.
Atau gaji terlambat dibayarkan karena APBN/ABPD terlambat ketuk palu hanya gara-gara sentiment politik antar fraksi atau antar partai. Siapa yang tidak berdenyut-denyut kepalanya? Siapa yang tidak terkuras energi syaraf otaknya?
Sementara di sisi lain pemandangan nampak begitu kontras ketika serombongan ibu paruh baya memborong pakaian di butik dengan harga jutaan, membeli banyak tas dengan harga-harga fantastis yang paling hanya dipajang di kamarnya.
Ada juga yang tertawa terbahak-bahak berjalan dari mall ke mall atau duduk-duduk santai di restoran mewah. Benar juga kata ibu-ibu di pusat perbelanjaan itu, “Harga-harga kebutuhan pokok semakin tak terjangkau. Ini membuat stres dan akhirnya stres kedua ya sakit jiwa itu....”. Dan hati saya mencoba menjawab, “Kejadian dan kehidupan yang banyak ditayangkan di banyak media semakin aneh serta tidak masuk akal. Nah, di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) bisa juga disebut gila”. Tapi jangan pula larut dengan “gila” atau “sakit” itu.

Jangan membuat kegalauan menjadi sakit yang mengaduk-aduk jiwa. Seorang psikolog James Branch Cabell memberikan pendapat, “Orang optimis mengatakan bahwa kita hidup di dunia yang terbaik, orang pesimis khawatir kalau pendapat itu benar”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri yang Diunggulkan

Barru WanuAku